Hari ini, kita akan melanjutkan
pembahasan kita tentang pengajaran Yesus di Lukas 15:11-32, yang ketiga
dari empat perumpamaan di dalam Lukas 15, Perumpamaan tentang Anak yang
Hilang. Dan perumpamaan ini berkisah tentang hubungan bapa-anak (sonship).
Apa artinya menjadi anak? Apa masalah yang timbul dalam hubungan ini?
Bagaimana cara kita menjadi anak? Saya akan memberi gambaran ringkasnya
kepada Anda karena perumpamaan ini agak terlalu panjang untuk dibaca.
Isi Cerita tentang Anak yang Hilang
Di dalam perumpamaan ini, Yesus
bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Dan
anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia
tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan
itu.
Lalu ia berkata, “Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan
memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?” Dari sini kita dapat
melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada
pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat
membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal.
Perhatikan
bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, “Aku tidak
mengizinkan kamu melakukan hal itu,” suatu ucapan yang cenderung akan
dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian
tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi anaknya bagian warisan anak
itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri,
sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya.
Di dalam ayat 13,
perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat
tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa
pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena – sebagaimana yang Anda
ketahui – setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali
melakukan segala yang mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di
bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini untuk menikmati
kebebasannya.
Namun celaka sekali! Hal-hal yang
gampang diraih selalu mudah pula berlalu. Si ayah mungkin harus bekerja
keras untuk memperoleh kekayaan itu, namun si anak tidak akan bisa
menghargai hal yang bukan hasil perjuangannya sendiri, perkara ini
sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Lalu ia
pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya.
Pepatah mengatakan, “Gampang didapat, gampang pula habisnya”. Jadi dalam
waktu yang sangat singkat, karena tidak tahu bagaimana mengelola
keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.
Pada waktu itu ia mulai menyadari,
bahwa untuk dapat bertahan hidup ia harus bekerja. Tiba-tiba ia tersadar
bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja. Sebelumnya, segala sesuatu yang
ia nikmati adalah hasil pemberian. Sang ayah selalu mencukupi segala
sesuatu buatnya. Mendadak saja sekarang ia harus bekerja.
Namun ternyata
ia tidak punya keterampilan yang tinggi untuk bekerja. Apa yang dapat
ia lakukan? Orang yang tidak tahu bagaimana mengelola kehidupan dan
keuangannya sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
Akhirnya, satu-satunya tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya adalah
mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan sebagai pemelihara babi.
Namun ini bukan pekerjaan yang
dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan babi. Bagaimanapun
juga, makanan babi tidak terlalu buruk.
Kadang kala, sisa-sisa makanan
yang lezat dari restoran yang mahal dikumpulkan dalam tong khusus dan
diberikan kepada babi. Jadi cukup sering babi-babi menerima makanan yang
lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang hanya makan roti
tawar dengan gula, selai dan bahan lain yang tidak cukup bergizi,
sementara babi menikmati semua hidangan utama yang juga disajikan kepada
orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini berminat terhadap makanan
babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik, namun rasanya
pasti cukup lezat, percayalah.
Ketika ia sedang dalam keadaan
seperti ini, ia mulai merenungkan tentang rumahnya. Kadang kala
dibutuhkan satu pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Ayat 17
menyebutkan, lalu ia menyadari keadaannya, ia mulai tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.
Perhatikan bahwa saat di rumah,
ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia bukan
siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya.
Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak
ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada
yang peduli padanya di tempat ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita
akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar
menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih
dari Allah.
Mendapati dirinya berada dalam
keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, “Pelayan ayahku yang berjumlah
banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku di sini mati
kelaparan!” Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang memang sudah
semestinya ia lakukan, “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Di
sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagi aku.”
Namun bagaimana ia bisa kembali
kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya. Ayahnya sudah
tidak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Lalu ia memikirkan dan
menyusun kata-kata yang akan diucapkannya, “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa.”
Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain ia sedang
berkata, “Aku telah berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, bapa. Apa
yang sudah kulakukan bukan sekadar merupakan kesalahan terhadapmu,
tetapi juga suatu kesalahan kepada Allah.
Sekarang aku memintamu untuk
menerima aku, bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak
sebagai anakmu, tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku
tidak tahu apakah aku boleh diterima sebagai seorang hamba. Tetapi jika
engkau menganggap bahwa aku masih boleh menjadi hambamu, aku memohon
Anda untuk menerima aku.”
Ayah yang Berbelas Kasih
Lalu di ayat 20, kita baca bahwa si
ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti
kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan.
Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping,
berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi
oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
Kita akan membahas kata ‘belas kasihan’ ini nanti. Lalu si ayah ini
berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak
datang. Ia tidak berkata, “Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima
pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran buatnya.” Tidak
ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk
anak bungsu ini.
Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah
dirancangnya itu, “Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa.
Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu.”
Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia
memakaikan cincin di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya,
yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia
berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar
dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang
sangat besar!
Si Sulung yang Kesal
Tidak heranlah, anak yang sulung
memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, “Nah, anak
ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa
diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan
bapa dengan meminta bagian warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada
anak yang lebih hina dari itu?
Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan
warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai
pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya.
Bapa malah bersukacita untuk kepulangannya!”
Si anak sulung merasa
sangat muak karena tidak seperti bapanya, ia tidak memiliki belas
kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang
sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa
karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari
pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu
ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan.
Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar
dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung?
Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada
yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah
menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas
kasihan.
Dan sebagai rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata, “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” Ini sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.
Semestinya ini Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang
Sebenarnya, saya cenderung
menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu
tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua
Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak
pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.
Pertama-tama, perlu Anda cermati
bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak yang hilang.
Isi beritanya selalu adalah tentang anak yang hilang. Manusia pertama,
Adam, tersesat dan hilang, dan Adam disebut sebagai seorang ‘anak Allah’
di Lukas 3:38. Yaitu, asal muasalnya, keberadaan dan segala miliknya
bersumber dari Allah. Adam adalah anak Allah dan Adam sudah hilang.
Siapa lagi anak yang hilang?
Sebagian besar Perjanjian Lama berkisah tentang Israel, dan bangsa
Israel disebut sebagai ‘anak Allah’ di dalam beberapa ayat, sebagai
contoh, Hosea 11:1,2 dan 10. Dan Hosea 11:1 (dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu,
yaitu, Allah memanggil Israel keluar dari Mesir) yang dikutip dalam
Matius 2:15 bercerita tentang Israel sebagai anak yang hilang. Alkitab
adalah buku yang berkisah tentang anak-anak yang hilang.
Kata ‘anak’ memiliki makna yang luas
di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam Perjanjian Lama juga
disebut sebagai ‘anak-anak Allah’, sebagai contoh di dalam Ayub 1:6,
2:1, 38:7. Mereka adalah anak-anak dalam kedudukan yang berbeda,
kedekatan yang berbeda terhadap Allah. Namun, bahkan para malaikat juga
bisa terhilang. Perhatikan contoh di dalam surat Yudas ayat 6, di situ
disebutkan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada
batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman
mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai
penghakiman pada hari besar.
Kunci Pemahaman Perumpamaan: Menjadi Anak bukan Jaminan Anda Tidak akan Hilang
Ada satu pandangan yang beredar luas
di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan sebagai anak
merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang
Kristen? “Aku adalah anak”. Dan banyak sekali orang yang berkata,
“Sekali menjadi anak akan selamanya menjadi anak.” Benar, ‘sekali
menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak,” tetapi apa artinya
itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan
keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu
bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah
jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari
Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.
Jangan mendasarkan keamanan rohani
Anda pada anggapan bahwa Anda adalah anak dan dengan demikian Anda pasti
akan baik-baik saja, jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda
mau. Anda boleh meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada
akhirnya. Itulah pengajaran yang banyak diberikan oleh sebagian besar
Gereja sekarang.
Namun saya beritahu, ini adalah ajaran sesat,
berdasarkan Firman Allah; ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan
membangun kehidupan rohani Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa
nyaman, menentramkan, namun tetap saja salah.
Pernah ada orang yang berkata kepada
saya, “Sekalipun orang-orang Kristen mungkin berpaling dari Allah,
mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai pelanggaran, mereka tetap akan
diselamatkan.”
Saya bertanya, “Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?”
Jawabnya, “Sangat mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, maka selamanya akan tetap sebagai anak.”
Menyedihkan sekali! Membangun
anggapan tentang jaminan keselamatan seperti itu sangatlah membinasakan!
Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara tentang
anak-anak yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa Israel
terhilang. Mereka juga adalah anak-anak. Para malaikat adalah anak-anak
Allah tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan mendasarkan
rasa aman Anda hanya dengan kata-kata, “Aku adalah anak”?
Saya tidak seketikapun menyangkal
betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah! Dan kita adalah
anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Sebagai contoh, makna dari
ungkapan ‘anak Allah’ yang memiliki jangkauan yang luas, di Kisah 17:28
Paulus mengutip salah satu pujangga Yunani yang mengatakan bahwa kita ini dari keturunan Allah juga.
Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.
Ada cakupan makna yang luas di mana Allah menjadi Bapa dan kita, umat
manusia, adalah makhluk dengan keberadaan yang berasal dari Dia. Sama
seperti keberadaan kita yang berasal dari orang tua kita, di balik itu,
Allahlah yang menjadi sumber keberadaan kita sesungguhnya. Allah adalah
bapa di dalam pengertian cakupan yang sangat luas itu. Dan cara pandang
ini juga diterima oleh Alkitab. Akan tetapi ada pengertian yang lebih
dipersempit lagi. Sama seperti di dalam setiap keluarga, beberapa anak
memiliki kedekatan yang lebih akrab dengan ayah mereka ketimbang anak
yang lainnya. Hal ini terjadi juga di dalam kehidupan rohani, beberapa
anak memiliki hubungan lebih akrab dengan Allah, dengan Bapa, ketimbang
anak yang lainnya.
Di samping itu, ada lagi pengertian
yang lebih khusus sifatnya yaitu kita menjadi anak karena Allah
mengangkat kita sebagai anak-Nya. Paulus berkata bahwa kita telah
menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah di Roma 8:15. Dengan
demikian, kita menjadi anak karena pengangkatan; dan juga menjadi anak
karena kelahiran baru.
Tetapi cukup untuk dikatakan di
titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda tidak dapat
berkata, “Aku aman karena aku adalah anak.” Saya sedih melihat begitu
banyak orang Kristen yang diajari bahwa kualitas kehidupan yang mereka
jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah mereka kudus atau tidak.
Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau tidak.
Kenyataannya, pernah saya menanyakan
salah satu dari orang Kristen itu, “Katakan pada saya, berdasarkan
doktrin yang Anda yakini – jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan
tidak bertobat, apakah ia tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?”
Dan tahukah Anda apa jawabannya? Dia
berkata, “Ya.” Berdasarkan teori ‘sekali selamat tetap selamat’, Anda
tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah melakukan pembunuhan.
Tidak ada hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak diselamatkan.
Saya berkata, “Jadi jika seorang
yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil seperti
mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen yang
membunuh dan tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam apa
yang Anda ajarkan ini? Dari bagian Alkitab yang mana Anda menemukan
ajaran ini?” Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah bahwa
‘sekali anak tetap anak.’ Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak
namun tetap hilang. Dan hal ini adalah jauh lebih tragis ketimbang tidak
pernah menjadi anak sama sekali.
Anak yang Hilang Diselamatkan karena Bertobat
Pikirkan hal ini dengan sangat
hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang
anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Apakah Anda pikir
anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat?
Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan
bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat.
Keberadaan sebagai anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak
bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, maka kita
tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini
adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.
Lalu bagaimana dengan si sulung? Ia
juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili oleh si sulung ini?
Jika Anda memperhatikan dengan teliti perumpamaan-perumpamaan dari
Yesus, beberapa dari antaranya bercerita tentang dua anak. Anak yang
sulung selalu dihubungkan dengan para ahli kitab dan orang-orang Farisi
sementara yang bungsu dikaitkan dengan orang-orang berdosa dan pemungut
cukai. Ini adalah dua kelompok utama umat di Israel: para ahli kitab dan
orang-orang Farisi di satu pihak, dan orang-orang berdosa serta
pemungut cukai di pihak lannya.
Mereka itulah dua anak ini. Itu sebabnya
Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli kitab, “Orang-orang
berdosa dan pemungut cukai akan masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa
kalian, karena mereka akan bertobat. Tetapi kalian akan tertinggal di
luar. Saat itulah kalian akan meratap dan menggertakkan gigi.” Tidak ada
orang yang diselamatkan tanpa pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah
yang mengatakan bahwa setiap orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.
Jangan Terlalu Yakin bahwa Anda adalah Anak!
Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata, “Jadi
hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira,
bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena
aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari
batu-batu ini!” (Mat.3:8-9).
Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan
keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: “Kami adalah umat yang
terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah.” Benar, itu semua karena
anugerah, akan tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi
sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, saya yang dipilih, bukan Anda.
Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan.
Saya mau tunjukkan bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih
belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan
itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata
kepada Yesus, “Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah,” dengan kata lain, “Kami para anak.” Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Yesus berkata di ayat 44, “Iblislah yang menjadi bapamu.”
Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis? Bukan, anak-anak Abraham
adalah anak-anak perjanjian! Yesus berkata, “Dari buahmulah terlihat
bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis.” Ini bukan suatu
pernyataan yang bermaksud menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan
rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada
fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin
ini baik-baik.
Sangatlah penting bagi kita untuk
tidak disesatkan oleh pengajaran palsu di zaman sekarang ini. Dapat saya
katakan bahwa mayoritas pengajaran di Gereja sekarang ini mencoba untuk
mengatakan kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan adalah menjadi
anak. Saudara-saudaraku, menjadi anak adalah hal yang penting.
Itu
adalah langkah pertama. Namun jangan membayangkan bahwa kedudukan
sebagai anak adalah dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada dasar
alkitabiah bagi hal itu karena seiring dengan penghargaan itu datang
pula suatu tanggungjawab. Semakin banyak Anda menerima, semakin banyak
Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari Anda
karena Anda adalah seorang anak. Dan itulah yang Ia katakan kaum Israel,
“Karena engkaulah, dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di atas bumi
ini, maka Aku akan menghakimi engkau” (Ul.7:6-7; Yeh.18:30). Itulah
dasar dari penghakiman-Nya.
Ingatlah selalu bahwa perumpamaan
ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang tersesat, melainkan
tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini baik-baik. Dan di dalam
perumpamaan ini, anak-anak tersebut bahkan merujuk kepada
kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat Yahudi: di satu pihak,
orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak lain adalah
para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Allah adalah Bapa kepada Semua
Sekarang, mari kita perhatikan aspek
lain di dalam perumpamaan ini: Kebapaan Allah. Allah disebut sebagai
Bapa. Kita sudah memahami bahwa kata ‘anak’ dipakai dalam pengertian
yang sangat luas, menunjukkan bahwa sekalipun orang yang tidak percaya
tetap memiliki hubungan dengan Allah karena Allah yang menciptakan
mereka; keberadaan mereka bersumber pada Allah.
Dalam pengertian seperti
itu, dia adalah keturunan Allah juga seperti yang dikatakan oleh Paulus
dalam Kisah 17:28. Berdasarkan pengertian yang sangat luas itu maka Allah juga merupakan Bapa bagi orang-orang yang tidak percaya karena keberadaan mereka bersumber dari Allah.
Berarti setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, karena Allah
adalah Bapa kepada setiap orang. Tapi bagi orang-orang Kristen, Ia
adalah Bapa di dalam pengertian hubungan yang lebih dekat, dan juga Bapa
bagi Yesus di dalam pengertian hubungan yang malah lebih dekat lagi.
Seperti yang dengan teliti
disampaikan oleh Paulus, kita adalah anak-anak berdasarkan adopsi. Kita
memiliki “Roh yang menjadikan kita anak.” Tentu saja, kita tahu bahwa
Yohanes berbicara tentang ‘kelahiran kembali’, dan ungkapan itu
berbicara tentang keberadaan sebagai anak secara figuratif. Tidak boleh
dipahami secara harfiah, namun secara rohaniah. Artinya, kita menjadi
anak-anak karena kita sudah dilahirkan kembali oleh kuasa Allah. Tetapi
Paulus lebih suka menggunakan istilah ‘ciptaan baru’ seperti yang dia
tulis di dalam 2 Korintus 5:17, kita menjadi ciptaan baru di dalam
Kristus.
Dengan melihat bahwa Allah itu Bapa
kepada kita semua, dalam pengertian yang lebih mendalam bagi kita
orang-orang Kristen ketimbang mereka yang non-Kristen, lalu bagaimana
sikap kita terhadap Allah? Pengajaran dari Yesus sangat menekankan hal
ini: tentang Kebapaan Allah. Ini adalah poin yang sangat penting di
dalam pengajaran Yesus.
Dan Yesus menunjukkan kepada kita di dalam
ajarannya bahwa Allah juga peduli pada orang-orang non-Kristen. Sebagai
contoh, Yesus berkata di dalam Khotbah di atas Bukit bahwa Allah
menurunkan hujan kepada orang Kristen dan yang non-Kristen. Ia tidak
membatasi hujan-Nya hanya kepada orang Kristen saja. Ia memberikan sinar
matahari kepada orang Kristen dan yang non-Kristen. Semua itu karena Ia
adalah Bapa di dalam pengertian yang sangat luas, mencukupkan kebutuhan
setiap umat-Nya, bahkan termasuk burung-burung di udara serta
bunga-bunga di padang. Bagaimana kita memperlakukan Allah sebagai Bapa?
Kita sebagai orang Kristen memiliki
keakraban yang lebih dekat kepada Allah karena kita mengenal-Nya bukan
hanya sebagai Pencipta tapi juga sebagai Penebus. Kita terikat
kepada-Nya sebagai anak dalam dua cara, sebagai Pencipta dan Penebus.
Kita boleh menyebut-Nya Abba Bapa, bukan sekadar ‘Bapa’, tetapi Abba Bapa. Inilah unsur yang menyolok dari ajaran Yesus.
Di dalam bahasa Mandarin, Abba itu sama dengan Baba. Di dalam logat Shanghai, penyebutannya sangat mirip dengan bahasa Aram, yaitu Ah-ba, suatu panggilan yang sangat akrab. Kadang-kadang kita memakai kata Dia-dia [Papa]. Ah-ba sangat serupa dengan kata Ibrani, Abba.
Mungkin istilah milik orang Shanghai ini bersumber dari bahasa Ibrani!
Saya tidak tahu, mungkin memang ada hubungan antara keduanya. Jadi kita
mendapati sesuatu yang sangat indah di sini.
Orang-orang non-Kristen tidak dapat memanggil Allah dengan Abba Bapa.
Ia tidak dapat memanggil dengan cara seperti itu, karena Anda baru bisa
memakai istilah itu jika Roh Allah ada di dalam Anda. Kata Abba
mengungkapkan suatu hubungan yang sangat akrab yang tak pernah dapat
dinikmati oleh orang non-Kristen.
Mereka tidak memiliki bentuk hubungan
yang hidup dengan Allah. Hubungan yang mereka miliki bersifat formal
dalam pengertian luas Allah sebagai Bapa mereka, sebagai Pencipta
mereka. Akan tetapi mereka tidak berada di dalam hubungan yang akrab
dengan Allah dalam bentuk seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya,
di mana anak itu boleh memanggil ayahnya dengan sebutan “Bapa, Papa,
Papi dan sebagainya.”
Anda pasti tidak akan memanggil orang lain dengan
sebutan “Papi”. Orang itu akan melotot ke arah Anda dan bertanya, “Siapa
kamu? Kenapa kamu panggil saya papi? Apa hak kamu memanggil saya
seperti itu?” Tapi jika Anda datang kepada ayah Anda dan memanggilnya,
“Papa,” ia akan senang dengan panggilan itu. Tidak ada masalah buatnya.
Karena hubungan yang akrab itu memang Anda miliki.
Dosa terbesar yang dapat dituduhkan atas seseorang dalam budaya Tiongkok mungkin adalah bu xiao, yaitu tidak hormat kepada orang tuanya. Di kalangan orang Tionghoa, kata bu xiao
mungkin adalah makian terburuk yang dapat Anda lontarkan terhadap
seseorang. Tidak begitu penting apakah ia seorang perampok bank selama
ia masih xiao, yaitu masih menghormati dan mencintai orang tuanya.
Besar kemungkinan orang itu akan mendapat pengampunan jika ia merampok
bank karena ayahnya sakit keras dan ia tidak mampu membayar ongkos
pengobatannya.
Saya pikir seorang hakim di Tiongkok akan tergerak untuk
berbelas kasihan atas perampok bank ini. Mereka cenderung akan berbelas
kasihan kepada orang yang berbuat sesuatu karena alasan xiao. Jika Anda menyatakan bahwa seseorang itu bu xiao,
ia akan disingkirkan oleh masyarakat Tionghoa. Bahkan kuburanpun tidak
akan disediakan baginya! Ia dipandang tidak layak untuk tetap hidup!
Riwayatnya sudah tamat! Kalau kita sudah mengerti dan terbiasa dengan
rasa hutang budi kepada orang tua, mengapa kita masih belum juga
mengerti bahwa hutang budi kita kepada Allah jauh melampaui hutang budi
kita kepada orang tua? Allah adalah Bapa di dalam pengertian yang jauh
lebih mendasar ketimbang orang tua kita.
Pikirkanlah tentang buah-buahan yang
Anda makan. Sangat luar biasa nikmatnya! Perhatikan sebuah jeruk. Buah
ini dikemas dengan sangat sempurna. Kemasan kulitnya dilapisi lilin
pelindung, mempertahankan kesegarannya sampai waktu yang cukup lama.
Jika Anda sudah mengupasnya, di bagian dalam Anda akan menemukan daging
buah yang dibagi dan dikemas sesuai dengan ukuran mulut. Anda tidak usah
menjejalkan seluruh daging buah ke dalam mulut Anda sekaligus. Setiap
bagiannya dirancang sempurna.
Dan lagi, tidak ada juru masak di dunia
ini yang dapat meniru aromanya. Jika seorang ahli kimia mencoba untuk
meniru rasa buah jeruk, hasilnya akan jauh berbeda dengan hasil kreasi
Bapa saya di dapur kreatif-Nya. Anda dapat segera merasakan adanya bahan
kimia yang asing. Sekalipun ia memiliki rasa yang sangat mirip dengan
jeruk, Anda tetap tahu bahwa itu bukan rasa yang alami. Rasa yang alami
sangatlah sempurna. Tidak terlalu manis, sampai-sampai mulut Anda terasa
lengket. Kadang-kadang, ketika Anda sedang makan manisan, Anda
kesulitan dalam menggerakkan mulut Anda; gigi Anda terasa lengket.
Terlalu banyak campuran gulanya. Terlalu lengket. Tapi tidak demikian
dengan jeruk. Rasa, aroma dan rancangannya sempurna dan seimbang.
Ada bermacam-macam buah. Sebagai
contoh, buah apel tidak dirancang seperti buah jeruk. Ketika Anda
menggigitnya, daging buah itu sangat memanfaatkan gigi anda, ia mengosok
dan membersihkan gigi Anda, sekaligus juga memijat gusi Anda. Segalanya
sudah dirancang. Dan rasa yang diberikan juga bermacam-macam. Jika
Allah hanya membuat satu macam buah, dan kita semua hanya bisa melihat
buah jeruk, Anda akan bertanya, “Makanan apa lagi yang tersedia selain
ini?” Di dalam dunia ini, Allah menyediakan berbagai macam buah-buahan.
Setiap jenis memiliki aroma, kemanisan dan kenikmatan yang berbeda.
Pernahkah Anda menikmati buah
persik? Wah! Rasanya betul-betul fantastis! Sering kali, ketika saya
makan buah persik, saya bertanya-tanya, “Bagaimana buah ini bisa
terbentuk?” Kata yang cocok untuk menggambarkan buah ini adalah
‘fantastik’! Dan lagi pula, anggaplah semua buah memiliki rasa yang
berbeda tetapi dengan bentuk dan tekstur yang sama, hal ini pasti akan
membosankan juga. Akan tetapi setiap buah memiliki tekstur yang berbeda –
ada yang renyah, ada pula yang lembut.
Benar-benar luar biasa!
Ketika Anda menikmati buah-buahan
itu, pernahkah Anda memikirkan asal muasalnya? Atau Anda tidak peduli
akan hal itu, dan cuma menjejalkannya ke dalam mulut. Ketika saya
menikmati buah-buahan, saya memikirkan betapa indahnya Abba Bapa menciptakan
buah itu. Anda tidak akan dapat memahami apa itu sukacita kehidupan
jika Anda tidak mengenal Allah.
Sangat indah menjadi seorang Kristen
karena kehidupannya sangat bermakna. Saya rasa menjadi orang non-Kristen
berarti hanya menjalani sebagian sisi saja dari kehidupan ini. Anda
tidak akan dapat menikmati hidup ini. Anda tidak akan dapat menikmati
keindahan, rancangan, tujuan dan struktur dari setiap hal.
Perhatikanlah sekuntum bunga.
Manfaat apa yang dimiliki oleh sekuntum bunga? Kami orang Tionghoa
sangat mementingkan manfaat suatu benda. Kami selalu menilai apa guna
suatu benda. Jika tidak ada gunanya, lupakan saja! Jika Anda memberi
saya seikat bunga, mungkin saya akan memandangi bunga itu dengan rasa
kesal.
Apa yang bisa saya lakukan dengan seikat bunga? Tidak bisa
dimakan, tak bisa dikenakan, lalu apa yang bisa dilakukan dengan bunga?
Pemborosan saja! Tapi coba amatilah bunga itu dan pikirkan warna, jenis,
bentuk dan wanginya. Apakah Anda hanya memikirkan manfaat praktisnya?
Itu semua adalah hal-hal yang memberi sukacita, keindahan dan memperluas
pandangan kita karena mereka memperlihatkan kecantikan yang belum kita
pahami dengan utuh. Segala sesuatu memiliki tujuan dan rancangan.
Apa
manfaat praktis dari bunga bagi setiap orang? Apa yang bisa
dilakukannya? Tetapi Allah di dalam tujuan-Nya telah menetapkan rencana
bagi setiap dari hal-hal ini.
Atau lihatlah pada berbagai macam
jenis pohon. Sejak kedatangan saya di Kanada, saya baru mulai menghargai
keberadaan pohon-pohon. Sungguh luar biasa! Selama ini saya menjalani
hidup saya tanpa pernah peduli pada pepohonan. Pernahkah Anda mengamati
pohon-pohon? Bagi saya dulu, setiap pohon sama saja. Hanya sebuah
dundukan berwarna hijau. Sampai akhirnya saya mulai mengamati setiap
pohon dengan lebih dekat, dan saya membatin,
“Wah! Ada begitu banyak
jenis pohon! Setiap daunnya memiliki bentuk dan rancangan yang berbeda.
Beberapa jenis daun berubah warna di musim gugur. Setiap pohon memiliki
fungsi yang berbeda. Ada yang kayunya keras, ada pula yang lunak. Jika
yang tersedia hanya kayu lunak, Anda akan kesulitan membangun rumah.
Jika hanya ada kayu keras, muncul pula kesulitan yang lain. Kayu-kayu
itu bahkan memiliki corak dan warna yang berbeda-beda. Sungguh luar
biasa!”
Pepatah Tionghoa mengatakan, Yin shui si yuan – saat Anda meminum air, renungkanlah asal muasal air itu.
Saya pikir menjadi orang Kristen itu sangat indah. Benar-benar
merupakan kehidupan yang menggairahkan khususnya jika Anda jalankan apa
yang diajarkan kepada kami, orang-orang Tionghoa – yaitu merenungkan
asal-usul segala sesuatu. Dengan begitulah saya mendapatkan hati yang
penuh syukur dan sembah, yaitu xiao dalam pengertian bakti kepada
Allah. Dan saya selalu berterima kasih kepada Allah,
“JalanMu
benar-benar sangat indah! Engkau adalah Bapa yang luar biasa bagiku.
Sungguh besar kemurahan, kasih karunia dan kebaikanMu kepadaku. Engkau
sungguh ajaib!” Semakin Anda memahami ciptaan Allah, semakin ajaib Allah
bagi Anda.
Ada seorang teman saya yang menekuni
bidang fisika, dan ia mengatakan bahwa semakin dalam ia mempelajari
bidang itu, semakin kagum hatinya melihat keajaiaban ciptaan Allah.
Hatinya dipenuhi oleh semangat pengabdian. Ada lagi seorang teman saya
yang menekuini bidang kedokteran. Dan suatu hari, ia terlihat sangat
gembira.
Lalu saya bertanya, “Apa yang membuatmu gembira hari ini?”
“Sungguh ajaib! Rancangan Allah sungguh ajaib!”
Saya tanyakan, “Apa yang kamu bicarakan?”
Jawabnya, “Tulang sendi lutut.”
Tak pernah terpikirkan oleh saya
sebelumnya bahwa tulang sendi lutut adalah hal yang ajaib. Lutut yang
saya miliki, bagi saya, tampaknya bukan yang tercantik di antara yang
lainnya. Hanya terlihat sebagai potongan tulang yang menonjol ke depan.
Namun teman ini berkata, “Rancangan
tulang sendi lutut sungguh sangat ajaib! Benar-benar fantastik!”
Kemudian ia menjelaskan segala sesuatu tentang tulang sendi lutut kepada
saya.
Sebelumnya, saya tidak pernah
melihat ada orang yang melonjak kegirangan karena urusan lutut. Akan
tetapi, semakin Anda dapat memahami ciptaan Allah, semakin Anda memahami
tentang rancangan dan manfaatnya, akan semakin mempesona hal itu bagi
Anda! Masalah utama kita adalah ketidaktahuan. Itulah persoalan kita.
Kalau saja kita lebih memahami keajaiban rancangan otak kita, struktur
organ-organ tubuh dan tujuannya, bagaimana semuanya dirancang, maka kita
pasti akan memuji Allah. Kita akan berkata, “Ya Allah, Engkau sungguh
ajaib!” Kita akan memiliki xiao. Kita merasa banyak berhutang
budi kepada orang tua kita. Mereka sungguh sangat baik kepada kita.
Mereka sangat menyayangi kita, dan penghargaan serta penghormatan yang
tinggi layak mereka dapatkan dari kita. Namun jauh lebih besar lagi
hutang budi kita kepada Allah, yaitu Bapa dari segala bapa, Orang tua
dari segala orang tua! Sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab, Bapa dari semua (Ef.4:6).
Allah adalah Bapa yang Sangat Berbelas Kasihan
Sekarang kita sampai kepada poin
berikutnya di dalam perumpamaan ini: Allah tampil sebagai Bapa dengan
belas kasihan yang sangat besar. Seperti yang sudah saya sampaikan
sebelumnya, kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang Allah. Kita
selalu saja memandang Allah sebagai Shang Di. Dalam bahasa Mandarin, Shang Di berarti, “Kaisar di atas.” Shang berarti atas, dan Di berarti Kaisar. Dan kami memandang Allah seperti Shang Di yang dihormati, disegani dan ditakuti, Kaisar di atas segala kaisar.
Saya pernah berkunjung ke Tien Tan (Kelenteng dari Surga) pada waktu masih sekolah, ketika saya di Beijing, dan saya sangat terkesan dengan Tien Tan. Sebuah bangunan yang sangat indah. Di satu bagian gedung itu, di dalamnya, tidak tertulis kata-kata lain kecuali Shang Di – Tuhan, Kaisar Surga. Kami orang Tionghoa cenderung membayangkan kata Di,
kaisar, sebagai satu Pribadi yang menakutkan, penuh dengan kuasa, dan
biasanya, kami tidak mengaitkan ide belas kasihan dengan seorang kaisar.
Tetapi di dalam Alkitab, kita harus
belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Allah sangatlah
berbelas kasihan. Biasanya, sekali setahun, Kaisar Tiongkok mengunjungi
Tien Tan dan mempersembahkan kurban kepada Allah. Sungguh hal yang luar
biasa, bahkan sebelum datangnya zaman Alkitab, konsep tentang satu Allah
sudah ada. Di dalam beberapa tulisan klasik, Shang Di juga disebut sebagai Tien, sama dengan yang tertulis di dalam Alkitab berbahasa Tionghoa. Di Matius, kita melihat kata ‘surga atau langit (heaven)’
yang merupakan sebutan bagi Allah di kalangan orang Yahudi.
Di dalam
bahasa Mandarin, julukan penghormatan yang diberikan juga sama. Tien dipakai untuk menyebut Allah. Kata Tien ini tidak sekadar berarti langit. Dan jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, di dalam tulisan-tulisan klasik China, kata tien selalu mengacu kepada Allah. Sebagai contoh, pepatah Mou shi zai ren, cheng shi zai tien berarti
merencanakan itu di pihak manusia, melaksananya ada di pihak Allah.
Pelaksanaan tidak dengan mengandalkan manusia melainkan Allah. Jadi kita
memiliki konsep tentang Allah yang sangat jelas di Tiongkok. Dan kaisar
mempersembahkan kurban kepada Allah karena ia memahami bahwa manusia
pada dasarnya berhutang segala-galanya kepada Allah, jadi manusia
berhutang ketaatan kepada Allah. Sayangnya, konsep tentang Allah bukan
memandang-Nya sebagai Bapa tetapi lebih sebagai Kaisar, jadi gambaran
yang mereka bayangkan adalah Allah sebagai satu Pribadi yang sangat
menakutkan.
Di dalam perumpamaan ini, kita menemukan kata ‘belas kasihan’ (Luk.15:20)
ini, dan saya ingin membawa pengamatan Anda pada keindahan ajaran
Biblika tentang belas kasihan. Kata dalam bahasa Yunani yang
diterjemahkan sebagai belas kasihan adalah, splagnizomai.
Dan splagnizomai berasal dari kata Yunani splagnon yang berarti bagian dalam dari tubuh, seperti jantung, hati atau paru-paru. Itu semua disebut splagnon,
jeroan, bagian dalam dari tubuh seseorang. Dan metafora dari kata itu
bermakna perasaan terdalam dari Anda. Jadi kata ini bermakna belas
kasihan, dalam pengertian Allah menyayangi kita dari lubuk hati-Nya yang
terdalam. Suatu ungkapan perasaan yang sangat dalam.
Kata ini hanya
dipakai jika Anda bermaksud untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam,
bukan sekadar rasa sayang saja. Dan kata ini dipakai di dalam perumpaman
kali ini dalam menggambarkan belas kasihan sang ayah, rasa sayang dan
simpati yang sangat mendalam, perasaan yang dipendamnya terhadap anak
yang hilang namun sudah bertobat dan kembali.
Yesus Memiliki Belas Kasihan dan Mengajarkannya
Menariknya, kata ‘belas kasihan’
dipakai dalam Perjanjian Baru hanya dalam referensi kepada Yesus. Di
dalam Perjanjian Baru kita mendapatkan enam referansi:
Yang pertama dipakai dalam Matius 9:36. Yesus kala itu sedang memandangi kerumunan orang-orang yang mengikuti dia: tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.
Saat Yesus menatap kita sekarang ini, Anda boleh yakin bahwa Yesus
menatap ke arah kita dengan keprihatinan yang mendalam, belas kasihan
yang mendalam, atas keadaan kita yang seperti domba tanpa gembala.
Yang kedua terdapat di Matius 14:14. Kata ini dipakai dalam kejadian pemberian makan kepada 5.000 orang di padang belantara: Ketika
Yesus mendarat, ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka
tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka dan ia menyembuhkan
mereka yang sakit.
Ketika Yesus melihat mereka dalam keadaan
kelaparan dan kekurangan di tengah tempat yang sepi, hatinya tergerak
oleh belas kasihan kepada mereka. Alasan mengapa ia memberi makan orang
banyak itu bukanlah karena ia ingin membuat mukjizat. Ini adalah
pandangan keliru yang sering terjadi. Alkitab memberi tahu kita bahwa
Yesus memberi makan 5.000 orang karena didorong oleh belas kasihan
kepada mereka. Ia merasa sedih melihat mereka kelaparan.
Referensi yang ketiga ada di Matius 15:32, dan ini adalah peristiwa pemberian makan kepada 4.000 orang: Lalu
Yesus memanggil murid-muridnya dan berkata: “Hati-ku tergerak oleh
belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti
aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka
pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan.” Sekali lagi, Yesus memberi makan 4.000 orang karena hatinya tergerak oleh belas kasihan pada mereka yang kelaparan.
Yang keempat ada di Markus 1:41.
Yesus berbelas kasihan kepada seorang penderita kusta, jenis orang yang
selalu diabaikan oleh masyarakat. Penderita kusta terlihat menjijikkan
karena seluruh tubuh dan wajah mereka dipenuhi oleh luka. Mereka
tersisih dari masyarakat dan tak ada yang mau mendekatinya karena orang
takut tertular kusta itu. Dan Yesus memandang ke arah penderita kusta
itu dan berbelas kasihan kepadanya: Maka tergeraklah hatinya oleh
belas kasihan, lalu ia mengulurkan tangannya, menjamah orang itu dan
berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”
Yang kelima ada di Matius 20:34
ketika Yesus berbelas kasihan, perasaan mendalam dari batinnya terhadap
atas dua orang buta. Ia menatap dengan penuh belas kasih kepada kedua
orang buta itu, yang terpaksa mengemis karena di dalam masyarakat mereka
itu, orang buta tidak dapat memperoleh pekerjaan. Mereka harus seumur
hidup menjadi pengemis. Dan Yesus berbelas kasihan kepada mereka: Maka
tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu ia menjamah mata mereka
dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti dia.
Yang keenam terdapat di Lukas 7:13.
Yesus berbelas kasihan kepada seorang janda di Nain yang sedang meratapi
kematian anak tunggalnya, dan janda itu menangis sambil mengikuti
orang-orang yang menggotong jenazah anaknya ke kuburan: Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!”
Ia merasa sangat kasihan kepada janda itu. Dia menghentikan arak-arakan
itu dan membangkitkan anak si janda itu. Sekali lagi, Yesus membuat
mukjizat bukan untuk membuktikan bahwa ia mampu membangkitkan orang
mati. Yesus tak pernah berusaha untuk pamer kuasa. Ia tidak pernah
berusaha untuk membuktikan sesuatu. Ia melakukan semua hal itu atas
dorongan belas kasihan. Ia membangkitkan anak si janda karena dorongan
belas kasihan. Alasannya melakukan mukjizat itu adalah rasa belas
kasihan kepada si janda yang sedang bersedih. Camkanlah hal ini.
Sangat mengagumkan bahwa kata ‘belas
kasihan’ di dalam Perjanjian Baru ini hanya dipakai dengan merujuk
kepada Yesus. Kata ini bahkan tidak muncul di dalam surat-surat rasul
Paulus. Selain itu, kata ‘belas kasihan’ ini juga dipakai langsung di
dalam ajaran Yesus, dalam tiga referensi, tetapi di satu referensi, kata
ini muncul dua kali, jadi total keseluruhannya bisa dikatakan ada empat
referensi.
Yang pertama muncul dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik, di Lukas 10:33: Lalu
datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu;
dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
Referensi yang kedua ada di dalam
perumpamaan ini, yaitu perumpamaan tentang anak yang hilang di Lukas
15:20, di mana sang ayah tergerak oleh belas kasihan melihat keadaan
anaknya yang menyedihkan, kurus, kelelahan, berpakaian lusuh dan
telanjang kaki. Itu adalah anaknya, dan sang ayah ini berbelas kasihan
kepada anaknya: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika
ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh
belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan
mencium dia.
Yang ketiga dan sekaligus keempat
ada di Matius 18:33, tentang seorang hamba yang mendapat belas kasihan
dari tuannya ketika ia tidak sanggup melunasi hutangnya, dan hutang itu
dihapuskan. Sayang sekali, hamba itu tidak berbelas kasihan kepada hamba
yang lain: “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?“
Dan seluruh gambaran yang indah
tentang kebapaan Allah, ungkapan belas kasihan-Nya yang terdalam,
dirumuskan dengan sangat indah di dalam kata-kata yang terdapat dalam
Lukas 6:36, “Hendaklah kamu murah hati (merciful, penuh belas kasihan), sama seperti Bapamu adalah murah hati (merciful, penuh belas kasihan).”
Yesus mengajarkan bahwa Allah, Bapa kita penuh dengan belas kasihan.
Dari sini, kita dapat melihat betapa indahnya gambaran tentang
keberadaan manusia sebagai anak dan Kebapaan Allah.
Kunci Pemahaman perumpamaan ini: Si Anak Bertobat
Di kedua perumpamaan yang sebelumnya
(tentang domba dan uang dirham yang hilang), domba dan koin itu
bersikap pasif. Mereka tidak mengambil peranan apapun. Si gembala dan
perempuan itulah yang melakukan segalanya. Namun jika Anda hanya
mengambil salah satu saja dari ketiga perumpamaan itu, misalnya tentang
domba yang hilang saja, maka Anda akan sampai kepada doktrin yang keliru
yang berkata bahwa Allahlah yang melakukan segalanya sedangkan manusia
tidak berperan apa-apa di dalam keselamatan. Atau bahwa peranan manusia
adalah pasif sepenuhnya. Seseorang tinggal duduk menunggu keselamatan
dari Allah. Apa yang dilakukan oleh si domba? Domba itu hanya duduk diam
dan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menanti sampai Allah (sang gembala)
datang dan menyelamatkannya.
Nah, jika Anda membangun doktrin
keselamatan dengan dasar seperti itu, Anda akan masuk ke dalam salah
satu bentuk ajaran Calvinisme – ajaran tentang kepasifan manusia dalam
berhadapan dengan aktifitas Allah. Padahal, kedua perumpamaan itu baru
lengkap jika perumpamaan yang ketiga ini dimasukkan.
Di dalam perumpamaan tentang anak
yang hilang ini, pada kenyataannya, sang ayah justru tidak berperan
aktif; ia berdiam di rumah menantikan anaknya kembali. Si anaklah yang
melakukan segalanya. Anak itu bertobat. Anak itu yang memutuskan apa
yang akan ia katakan kepada ayahnya. Anak itu yang pergi kembali kepada
ayahnya. Namun, jika Anda membangun doktrin hannya berdasarkan
perumpamaan ini saja, Anda juga akan masuk dalam kesimpulan yang salah,
bahwa manusia yang melakukan segalanya sedangkan Allah tidak berbuat
apa-apa. Anda harus memakai ketiga perumpamaan ini secara serentak untuk
dapat melihat gambaran yang selengkapnya.
Kesalahan dari orang-orang Calvinis
tepatnya pada masalah penekanan ini: mereka hanya berfokus pada kedua
perumpamaan yang pertama dan mengabaikan yang ketiga, yaitu Perumpamaan
tentang Anak yang Hilang. Itu sebabnya, para pendukung Calvin
mengajarkan bahwa Allah melakukan segala-galanya dan manusia tidak perlu
berbuat apapun. Anda cuma perlu duduk menanti sampai Allah datang
menyelamatkan Anda. Malahan, iman Andapun dinyatakan sebagai karunia.
Pada dasarnya Anda tidak memiliki iman sama sekali. Semuanya merupakan
pemberian, jadi bahkan di dalam hal iman, Anda juga tinggal menerima
saja, Anda pasif. Ini adalah pendapat yang terlalu ekstrim, dan jelas
tidak sesuai dengan Alkitab. Dan saya harus menyatakan hal ini dan
menyatakannya dengan tegas.
Yesus sama sekali tidak mengajarkan
hal ini. Si anak teringat pada kasih ayahnya dan ia bertobat. Perhatikan
bahwa di dalam keseluruhan perumpamaan ini, si anaklah yang mengambil
peranan aktif sampai dengan kepulangannya ke rumah. Hal ini sangat
penting untuk kita ingat-ingat. Jika kita sudah paham akan hal ini, kita
juga akan dapat melihat bahwa pertobatan adalah saat kita terbangun melihat kenyataan dunia rohani. Sebagaimana yang sudah Anda lihat di dalam ayat 17, di situ dikatakan bahwa ia menyadari keadaannya. Ia terbangun.
Di Efesus 5:14 kita baca, Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu.
Ini pernyataan yang penting. Jika Anda belum mengenal Allah, maka
keadaan Anda sama seperti anak bungsu yang boros ini yang masih lelap
dalam tidurnya. Anda masih belum terbangun. Anda masih belum memahami
realitas kerohanian. Anda masih tinggal di dalam mimpi. Sekaranglah
saatnya bangun dan melihat realitas Allah. Ada beberapa orang yang susah
dibangunkan sehingga dibutuhkan benturan keras untuk membangunkan
mereka. Si bungsu ini masih terlelap. Ia masih asyik menikmati dunia
khayalnya sampai akhirnya dia terbenam dalam kekacauan.
Dosa dari Pengingkaran terhadap Allah
Perumpamaan ini sangat mengena
dengan kehidupan saya. Saya tidak bisa menceritakannya secara panjang
lebar sekarang ini kesaksian hidup saya, akan tetapi si bungsu itu
mengalami hal yang sangat mirip dengan pengalaman saya. Dulu saya
menjalani hidup di dalam dunia yang tidak nyata. Saya menjalani hidup
sebagai seorang yang agnostik (tidak peduli kepada Tuhan) atau ateis
(tidak percaya adanya Tuhan). Saya terombang-ambing di antara keduanya.
Secara filsafat, agnostikisme lebih layak diterima ketimbang ateisme;
karena ateisme tidak memiliki dasar pemikiran yang masuk akal. Saya
terombang-ambing di antara kedua aliran pemikiran itu.
Saya menjalani
kehidupan di dunia tidak nyata yang saya bangun di dalam diri saya ini
sampai akhirnya terjerumus ke dalam masalah seperti yang dialami oleh si
anak bungsu itu. Sampai pada suatu hari, ketika saya duduk di dalam
penjara penguasa Komunis, saya tersadar dan berkata, “Apa yang saya
lakukan ini?” Sangat serupa dengan anak yang hilang di dalam perumpamaan
ini yang berkata, “Aku seharusnya bisa tetap tinggal dengan bapa
menjalani hidup yang berkelimpahan. Sekarang malahan harus duduk bersama
babi!” Seperti itulah keadaan saya pada waktu itu. Saya duduk di
halaman penjara, di bawah todongan senapan mesin seorang penjaga
Komunis, dan saya tersadar.
Dibutuhkan pengalaman yang seburuk itu untuk
membangkitkan kesadaran saya. Saya membatin, “Apa yang sudah saya
lakukan ini?” Dan kemudian saya menatap ke atas dan bertanya, “Bagaimana
dengan Allah yang selama ini tidak saya pedulikan?” Lalu untuk pertama
kalinya, saya berkata pada diri sendiri, “Aku tahu apa yang harus
kukatakan kepada Allah.” Dan saya mulai menyusun doa di dalam hati saya
dan memanjatkan doa tersebut. Saya bertobat, dan saya sangat kagum
ketika mendapati bahwa Allah sangat berbelas kasih. Allah yang sudah
saya perlakukan dengan kurang ajar, ternyata sangat berbelas kasihan
kepada saya!
Anda mungkin tidak berpikir bahwa
Anda sudah melakukan banyak dosa. Lihatlah anak yang hilang ini yang
telah meninggalkan rumahnya. Apakah ia sudah menghina bapanya? Apakah ia
sudah melecehkan bapanya? Apakah ia sudah mengutuki bapanya? Tidak.
Apakah ia mencuri sesuatu dari bapanya? Tidak. Ia meminta bagiannya dan
ia mendapatkan itu. Mungkin caranya sedikit memalukan, tidak elok, akan
tetapi itu tidak salah di sisi hukum, tidak berdosa. Ia tidak melanggar
hukum apapun. Lalu bagaimana cara kita memahami situasi ini? Apakah ia
sudah berbuat kasar kepada ayahnya? Tidak. Jadi, ia tidak mencuri, tidak
membunuh – tidak melakukan hal yang jahat. Lalu apa dosanya? Kesalahan
apa yang dibuat oleh anak ini? Hanya satu: ia menyangkal ayahnya.
Apa kesalahan yang Anda lakukan
sebagai seorang non-Kristen? Apakah Anda melakukan pembunuhan?
Pencurian? Atau merampok bank? Tidak. Kesalahannya adalah bahwa Anda
telah berpaling dari Allah. Pada dasarnya Anda telah bu xiao.
Anda telah menolak untuk memuliakan Allah, Bapa segala yang ada, sumber
dari hidup kita. Itulah kejahatan Anda. Itulah hal yang saya lakukan
dulu. Saya bahkan melakukan lebih dari itu. Saya sudah menghina dan
mengolok-olok orang-orang Kristen, walaupun saya tidak menghina Allah.
Saya tidak mencuri, merampok, tidak ada tindak kriminal yang pernah saya
lakukan, akan tetapi saya justru melakukan hal yang terburuk –
membelakangi Allah. Saya berkata, “Aku tidak punya waktu untukMu. Aku
akan menjalani hidup dengan caraku sendiri. Selamat tinggal.”
Ketika saya ingin berbalik
kepada-Nya, saya menyadari bahwa saya tidak berhak untuk berbicara
kepada-Nya. Namun sungguh besar belas kasihan-Nya! Ia berlari menyambut
saya! Dan tempat yang dipilih sungguh luar biasa, saya bertemu dengan
Allah di dalam penjara penguasa Komunis. Betul-betul tempat yang luar
biasa! Saya bersyukur kepada Allah atas kehadiran kaum Komunis dalam hal
ini. Jika pihak Komunis tidak pernah datang, mungkin saya tidak akan
pernah menjadi orang Kristen. Segala sesuatu terjadi dengan tujuan yang
sudah pasti, bahkan peristiwa kemenangan kaum Komunis sekalipun. Jika
Tiongkok tidak dimenangkan oleh kaum Komunis, saya ragu apakah saya
dapat menjadi Kristen. Dengan pengalaman segawat itulah saya dibangunkan
pada kenyataan.
Saya tersadar dari mimpi dan bertemu dengan Allah.
Suatu perjumpaan dengan Allah yang sangat mengesankan yang terjadi di
halaman penjara, yang belum pernah dapat saya bayangkan sebelumnya. Saya
bertemu dengan Allah ketika sedang duduk di halaman penjara itu. Saya
bercakap-cakap dengan-Nya. Dan saya mengalami Dia dalam suatu cara yang
tidak akan pernah bisa dipahami oleh mereka yang belum pernah mengalami
Allah. Pengalaman ini tidak dapat diterangkan. Allah hadir melingkupi
saya, dan seluruh tubuh saya dipenuhi oleh rasa sukacita, sukacita yang
tidak dapat saya pahami. Pengalaman pertemuan ini tidak dapat saya
pahami secara nalar dan tidak juga dapat saya jelaskan menurut bahasa
nalar.
Jaminan Hanya ada di dalam Allah, Bapa kita yang Penuh Belas kasih
Kita akan masuk ke dalam poin yang
terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan
ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai
pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah
menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya
siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu
ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya
sendiri, “Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke
pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan
saya adalah anaknya?” Anggaplah ia memutuskan, “Saya akan pulang dan
berkata, “Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau
tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh,
tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah
ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte
kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana.”” Menurut Anda, jika dia
berbuat seperti itu, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?
Saya lihat ada begitu banyak orang
Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka berpikir bahwa pada Hari
itu, mereka akan datang menghadap kepada bapa dan berkata, “Lihat, ini
surat baptis saya, saya dibaptis di sebuah gereja yang sangat bagus,
Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang cukup layak untuk
beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini tanda tangan
pendetanya. Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca, tentunya engkau
tahu bahwa itu adalah tanda tangan. Ini surat resmi. Jadi, sekarang
saya datang. Saya mau mengklaim keselamatan saya! Saya memang tidak
menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup banyak dosa yang
saya perbuat. Cukup banyak tindakan ngawur yang saya lakukan. Bahkan
mungkin kualitas kehidupan rohani saya sebagai orang Kristen masih di
bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Tapi saya punya surat
baptis. Saya adalah seorang anak!”
Dan orang-orang yang malang itu
mengira bahwa Allah akan berkata, “Oh, mari sini anakKu! Baiklah, karena
kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak dan engkau boleh
kembali ke rumah.”
Seperti kebanyakan pengalaman
orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat terkejut! Jika
Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim anda sebagai anak, tamatlah
riwayat Anda! Ini bukan untuk menakut-nakuti.
Kita berbicara tentang keberadaan
sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu baru menjadi layak
sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak layak untuk
menjadi anak. Si bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada saat ia
menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk menjadi anak.
Ini adalah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si sulung, anak
namun belum menjadi anak. Ini adalah poin yang harus kita pegang dan
pahami secara mendalam. Ketika si bungsu membatin, “Aku akan berkata
kepada bapa, ‘Saya tidak layak menjadi anakmu. Berilah saya tempat di
antara para hambamu,'” saat itulah ia berada dalam keadaan yang layak
menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat menuntut
pemenuhannya. Waspadalah terhadap setiap doktrin atau pengajaran yang
mendorong Anda untuk berpikir bahwa pada Hari Penghakiman nanti Anda
berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda, bahwa Anda berhak untuk
memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan anda percaya. Setiap
orang yang berpikir seperti itu akan segera mendapatkan kejutan besar.
Hanya ada satu macam orang yang akan mendapatkan warisan, yaitu orang
miskin. “Berbahagialah orang yang miskin.” Mereka tidak memiliki hak;
dan mereka tidak menuntut hak apapun. Mereka hanya datang dalam
kerendahan hati dan bertobat.
Saya beritahu Anda bahwa saya akan
menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap kepada Allah di Hari
Penghakiman itu dan berkata, “Lihat, saya seorang pendeta. Saya sudah
memberitakan Injil selama bertahun-tahun! Saya berkhotbah di dalam
banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa banyak peserta yang hadir di
sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan Injil, bukankah begitu?
Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya itu, saya seorang pendeta!
Jadi kalau ada orang yang berhak masuk ke dalam kerajaan Allah, sayalah
orang itu! Perintahkanlah para malaikat untuk meniupkan terompet
menyambut saya!” Saya beritahu Anda, jika saya datang kepada Allah
dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan ada waktu untuk saya.
Pada Hari itu, saat saya datang
kepada Allah, saya akan berkata, “Tuhan, saya tidak punya apa-apa yang
dapat saya persembahkan padaMu. Saya tidak mempunyai klaim apapun.
Kiranya Kau berkenan menerima saya sebagai hambaMu. Saya sudah
mengusahakan apa yang dapat saya lakukan. Pekerjaan saya sungguh tidak
berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan saya
di dalam kasih karuniaMu.
Karena keterbatasan saya, hasilnya memang
tidak memadai. Saya sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya
di antara para hambaMu.” Hanya sikap hati seperti itu yang dicari oleh
Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang yang
angkuh dan meninggikan diri. Dan jika Anda pernah menerima doktrin atau
ajaran yang menempatkan Anda di dalam semacam ‘jaminan’ seperti itu,
lupakan saja! Tidak ada landasan alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu.
Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena ia pulang
kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak.
Ingatlah hal itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.
Saya berdoa agar Anda dapat
mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh perumpamaan
ini. Jika Anda mencari sesuatu pelajaran dari perumpamaan ini, maka poin
inilah hal utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini. Bukan sekadar
kepulangan si anak bungsu yang diceritakan. Yang terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si anak bungsu itu.
Rasul Tuhan yang besar, Paulus,
bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu “hamba atau budak Yesus
Kristus.” Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi ketimbang
sekadar sebagai seorang budak Yesus. Pada zamannya, seorang pekerja
dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi dari pada seorang
budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal yang
tidak dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk dapat
diterima sebagai salah satu budak Yesus Kristus. Paulus tidak bermegah
atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan dengan sangat tegas,
“Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun di atas
segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi seorang
hamba atau budak Yesus Kristus.”
Seorang hamba atau budak tidak
menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan segala
sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya. Pernahkah Anda
melihat ada budak yang datang kepada majikannya dan berkata, “Lihat,
perhatikan prestasi saya”? Apapun yang sudah Anda kerjakan bagi Tuhan,
tidak peduli sebesar apapun prestasi Anda, tidak lebih dari sekadar
menunaikan apa yang memang sudah seharusnya Anda kerjakan.
Inilah arti dari ‘keselamatan oleh
anugerah’. Anugerah berarti “Tidak ada satu hal pun yang layak untuk
saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak membanggakan
keberadaan sebagai anak yang telah diberikan kepada saya.” Hal yang
paling berbahaya adalah membanggakan anugerah seolah-olah anugerah itu
merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam pengajaran yang
alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak bukanlah anugerah.
Segala sesuatu yang menjadi hak Anda pasti berasal dari hasil usaha Anda
sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah tidak pernah
merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu terjadi
bukan karena kita memiliki hak atas hal itu. Dan sekalipun saya adalah
anak, saya tidak dapat mengklaim keberadaan saya sebagai anak sebagai
satu hak karena hal itu selalunya merupakan anugerah, dan anugerah tidak
pernah dilandasi oleh hak.
Pada Hari itu, saya akan datang
kepada Allah bukan sebagai orang penting, namun sebagai seorang berdosa
yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Dan saya akan
menghadap Allah Bapa dan berkata, “Inilah saya, dengan penuh sukacita
menerima dan terus menerima anugerahMu.” Dan saya memiliki keyakinan itu
bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas kasih-Nya.
Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak atau apapun
itu, tetapi berdasarkan pada siapa Allah itu – Bapa yang penuh dengan
belas kasihan.
Akan tetapi Dia tidak akan berbelas
kasih kepada orang-orang yang tinggi hati, orang-orang yang membanggakan
kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah hal itu merupakan hak yang
dapat mereka klaim. Orang-orang ini masih belum memahami apa arti
keberadaan sebagai anak. Akan tetapi Gereja di zaman sekarang ini
dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, “Saya pasti selamat
karena saya adalah anak Allah.” Anda baru bisa hidup dan berlaku seperti
seorang anak jika Anda menjalani hidup dan berperilaku seperti seorang
yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan untuk berada di antara para
pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga Anda dapat
memahami hal itu.
Kiranya Allah menganugerahkan
kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam pertobatan,
hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap hari
sehingga jika Hari itu tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya di
dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-Nya kepada orang-orang
yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian kita: Barangsiapa datang kepadaku, ia tidak akan Kubuang (Yoh.6:37). Inilah jaminan keselamatan saya, bukan didasarkan saya ini penting, saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan jaminan keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah.
-Selesai-
Post a Comment